Ketika dunia telah merubah keadaan, maka hati yang akan menentukan pilihan.
Brakk,,
Brakk,,
“Aduh,,”
“Ke tengah bu, ke tengaah,,”
“Kosong, kosong,, otak lu tuch yang kosong, gak liat pipi gw udah nempel di jendela.”
“Tau tuch, jalan dong baang, udah penuh niich, ih gak punya perasaan amat si”
“Jalan baaang,, anak saya hampir mati kejepit nich”
“Telor puyuh, lor puyuh, tahu, tahu, tahunya mbakk,, mas”
“Yaa permisi bapak ibu sekalian mengganggu perjalanan anda, izinkan kami menyanyikan...bla bla bla”
Tak peduli keluhan dan protes dari mulut para penumpang, si kondektur kopaja terus berteriak dan memanggil orang. Padahal suasana di dalam bus sudah sesak, bahkan untuk melihat jempol kaki masing-masing saja sudah tidak mungkin karena beradu dengan tas dan perut sesama penumpang. Berebutan oksigen yang bercampur bau keringat hanya agar bisa tetap bertahan hingga tempat tujuan. Tak ada yang menggubris pengamen yang suaranya lebih mirip tokek yang sedang sekarat karena ashma.
Tak ada juga yang peduli pada tukang asongan yang menjulurkan tangan di kaca yang warnanya sudah tak lagi putih. Tak peduli jerit isi kopaja, Si kondektur tetap menjejalkan penumpang, hingga 5 anak berseragam abu-abu loncat ke dalam bus, berdiri dengan satu kaki yang sebagian masuk dan sebagian menjulur keluar dan tangan yang bergelayut dipintu bus. Akhirnya bus tua ber nomor 57 jurusan Blok M – Kp. Rambutan itu meraung-raung melaju menembus padatnya arus lalu lintas Jakarta, asap knalpot yang pekatnya menghalangi pandangan, yang seketika bisa menghapus make up setebal 3 cm itu mulai menyatu dengan asap-asap kendaraan lain yang tak kalah hitam. Mobil tua itu tak peduli kendaraan yang melintas, ia meliuk-liuk menerobos kepadatan dengan lincahnya, layaknya pembalap F1 yang melaju di sirkuit menyalip semua mobil lawan. Tak jarang terdengar sumpah serapah dari pengendara sepeda motor yang spionnya kesenggol atau ibu-ibu hendak menyebrang yang terbatuk-batuk kena asap yang keluar dari knalpot dengan suara yang memekakkan telinga sambil sibuk menyelematkan barang belanjaannya yang berjatuhan diterpa wuzz angin kopaja tua itu. Belum lagi jerit histeris para penumpang yang berjejal didalam tubuh 57 tua ketika ia oleng ke kiri ke kanan seolah hampir terbalik, apalagi ketika si sopir yang selalu berkalung handuk kecil lusuh dan sebatang rokok yang menyelip dibibir hitamnya mengerem mendadak. Ah, suasana seperti itu seolah biasa dimata semua warga Jakarta terutama penumpang setia kopaja tua ini, biasa dimata pengendara motor kecil, biasa dimata preman Blok M, biasa dimata para polisi lalu lintas dan biasa di mataku.
Dengan mata terpejam, aku bersandar dikursi plastik yang sebagian catnya sudah terkelupas, persis di pintu masuk bagian belakang kopaja. Aku membuang sisa rokok yang kuhisap sejak 15 menit yang lalu. Aku menikmati alunan musik dari Oasis di telingaku yang suara kerasnya menelan kebisingan dan ramainya suasana di dalam 57 tua. Keadaan seperti ini sudah sangat bersahabat denganku, setiap hari, selama 5 tahun terakhir ini, tidak pernah ada yang berubah.
Namaku Alle, asalku Batam, lahir dan besar di sana. Tapi 5 tahun yang lalu aku memutuskan pindah ke Jakarta. Tepatnya, kabur. Ingin mengadu nasib seperti orang daerah pada umumnya yang mengadu peruntungan di ibu kota. Aku sudah berulang kali pindah kerja, mulai dari penjaga toko, restoran, hingga bengkel mobil. Tapi tak jarang uang yang kudapat habis buat maen bahkan minum-minuman seperti teman-teman yang lain. Awalnya aku ikut-ikutan, lama-lama jadi ketagihan. Satu bulan terkahir ini aku bekerja di distro pakaian anak muda daerah Blok M. Setiap hari aku bolak balik Blok M-Rambutan, karena aku kost di daerah Pasar Rebo. Aku hafal suasana hiruk pikuk serta kebisingan khas kekumuhan Jakarta. Tidak ada yang istimewa, tak ada yang berubah, Hanya ada satu yang menarik, gadis berkerudung putih yang duduk tepat di depanku, yang sejak 5 menit lalu duduk di situ. Selalu di situ. Seolah kursi deretan kedua dari belakang itu memang dipersiapkan untuknya. Bagaimana tidak? Sudah hampir 2 minggu ini aku melihatnya di kursi yang sama, gadis berkerudung putih lebar, berkacamata, mengenakan rok yang selalu sepadan dengan warna baju atau sepatunya, sayang dia selalu mengenakan masker utnuk menutupi hidung dan mulutnya. Mungkin karena tidak tahan asap knalpot yang sekali hirup mengitamkan paru-paru. Tapi sepertinya ia tidak khawatir dengan jilbab yang ia kenakan. Putih, selalu putih. Sepertinya ia tidak pernah takut jilbabnya menjadi kotor kena asap atau debu yang menempel di badan tua kopaja 57 ini.
Dia selalu datang 5 menit setelah aku naik, dan duduk di kursi kedua dari belakang dekat pintu. Tepat didepanku. Aku memang tidak pernah bisa melihat wajahnya yang tertutup masker dan berjalan tertunduk. Tapi aku selalu merasakan kehadirannya. Setiap hari, ketika jam pulang kerja. Entah dari mana dia datang, yang pasti dua minggu berturut-turut ini aku selalu naik di bus yang sama dan posisi yang tak pernah berubah. Kebetulan kah? Entahlah.
Aku tak pernah menegurnya, karena padatnya isi perut 57 tidak memungkinkan aku untuk mengajak dia walau sekedar basa basi ngobrol. Setiap hari ia selalu melintas di depanku. Karena ia datang setelah aku nangkring di singgasanaku, dan selalu turun lebih awal dariku. Akses pintu keluar masuk yang ia lewati sudah tentu akan melintasiku. Aku selalu memperhatikannya, bahkan terkadang aku menghindarkan badan penumpang-penumpang lain yang kebetulan tak sengaja terjerembab hampir menyentuh bahunya ketika si sopir ngerem mendadak, refleks aku melindungi dan menjaganya, tanpa ia sadari tentu. Karena si kerudung putih sendiri selau tertunduk, mungkin memejamkan mata tak peduli kepanikan penumpang 57.
Kira-kira 45 menit dari Blok M, ia bangkit, melintas (tentu dengan tanpa melihatku), turun, lalu hilang ditelan padatnya arus lalu lintas yang hingga larut malampun tetap mengular. Selalu begitu, selama 2 minggu ini. Aku sendiri mulai menikmati kehadirnnya, bahkan selalu menunggunya naik dan duduk didepanku. Aku memperhatikannya dari belakang bahkan melindungi tangan jail yang mungkin entah disengaja atau tidak hendak menyentuhnya.
Hingga hari itu, dia bangkit sebelum tujuan biasa ia turun, karena aku hafal betul di mana seharusnya ia melintas didepanku. Menghampiri pintu, dan mengisyartkan kondektur ingin turun. Aku menatapnya, kebetulan ia memandangku, Hanya sejenak ia menatapku. Sepasang mata itu... seperti aku kenal. Tapi siapa?? Lalu seperti terburu-buru melewati desakan penumpang, loncat keluar. Hilang. 57 kembali melaju kencang. Tapi ada sesuatu yang sepertinya tak sengaja ia jatuhkan dan aku mengambilnya. Dan,,
*****************************
Hampir satu jam aku menunggunya, tapi ia tak kunjung muncul. Berkali-kali aku melirik jam tanganku. Mulai gelisah, dadaku tiba-tiba saja bergemuruh. Kadang kusibakkan rambut yang sengaja ku buat gondrong tak terawat. Hingga akhirnya 57 melesat meninggalkan Blok M. Membiarkan kursi si kerudung putih diisi ibu paruh baya berbadan gempal. Aku beresandar lemas, putus asa.
Keesokan harinya pun sama, ia tetap tak kunjung muncul. Aku semakin gelisah. Ingin rasanya aku mencari si kerudung putih, tapi di mana??
Tidak, bukan, aku tidak mencintainya, dia juga bukan seorang wanita yang pernah menjadi wanitaku di masa lalu yang kemudian kembali dipertemukan denganku. Aku menanti dengan gelisah juga bukan karena aku ingin mengembalikan benda yang ia jatuhkan, lantas aku akan mengucapkan kata cinta. TIDAK..!! dan TIDAK MUNGKIN, bukan karena aku merasa kotor dan ia wanita suci, bukan karena aku merasa beda dunia, tapi karena aku dan dia sama. Karena aku juga wanita..!! bahkan lebih dari itu, aku pernah menjadi seperti dia. Mengenakan pakaian seperti yang ia kenakan. Berkerudung lebar, rapi, dan santun.
Dulu, 5 tahun yang lalu. Sebelum aku lari dari rumah, sebelum ayah tiriku yang merupakan seorang pemabuk yang setiap hari memukuli ibu datang dalam keadaan mabuk dan membawa wanita nakal kedalam rumahku. Sebelum akhirnya pria bajingan itu mati ditanganku.
Dulu sekali,, aku seorang wanita aktif dalam kegiatan kerohanian islam di sekolahku. Mempunyai kawan dekat seorang atheis, keluarga kaya tapi tak berpegangan agama. Saat itu, 5 tahun yang lalu tak lelah aku mengajarkan indahnya islam pada sahabatku, perlahan mengenalkan Alloh dan Rosululloh. Walau aku tahu, ayahnya seorang pemilik perusahaan minuman keras di Batam, walau aku merasa dakwah-dakwahku hanya ditanggapi dengan kerut didahinya. Saat itu, ia dengan tampilan wanita yang selalu tampak sangat cantik ketika datang ke sekolah, menggoda, hobby dugem setiap malam, dengan bibir yang selalu menghisap lintingan tembakau bermerk dan mahal. Bahkan tak terhitung berapa gram obat terlarang yang bersarang di dalam tubuhnya. Tapi entah ia dekat denganku. Bahkan sangat dekat. Dua wanita beda karakter. Dulu, 5 tahun yang lalu. Sebelum aku kabur ketakutan meninggalkan Batam, padahal belum tamat SMA. Meninggalkan islamku, menanggalkan jilbabku, menjudge bahwa semua Pria brengsek dan menyengsarakan wanita. Aku juga meninggalkan Viera, sahabat terdekatku, tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa sempat mendengar apakah ia sudah bisa faseh berkata Allohuakbar. Semuanya kutinggalkan. 5 tahun yang lalu,, dan hari ini,
Allea Zahhra Syarani dan Saviera Ellia Permata,, dua nama, dua dunia yang terikat persahabatan dan terukir menyatu dalam satu nama LLEVIERA’S, dengan tinta emas dan hiasan batu pulau Lombok yang diminiaturkan menjadi dua buah gantungan kunci, satu untukku, satu untuk Viera, aku yakin di dunia ini hanya ada dua gantungan kunci seperti itu, karena itu kubuat sendiri bersama Viera. Yang saat ini dua-duanya basah oleh keringat dalam genggaman tanganku. Satu milikku, dan satu lagi kuambil dari kolong kursi bus 57 yang sempat dijatuhkan oleh wanita berkerudung putih.
57 melesat nekat menerobos kepadatan lalu lintas. Tak peduli sumpah serapah, tak peduli jerit penumpang, tak peduli padaku yang membatu, pucat, seperti mayat, bersandar dikursi tepat di samping pintu, tepat di belakang wanita berkerudung putih, tapi berbentuk wanita paruh baya. Bukan dia, wanita berkerudung putihku, bukan Saviera Ellia Permata.
*Ayya