Klik, klik,,!!!
Selepas menikmati perayaan tahunan hingga larut malam, lantas aku merapikan peralatan rekamku dan bergegas kembali ke hotel. Membersihkan badan dan mulai membuka laptopku di meja kecil samping tempat tidur. Dengan celana putih selutut dan kaos oblong yang berwarna putih ditemani secangkir kopi serta roti coklat, aku mulai memindahkan photo-photo hasil jepretan seharian ini ke folder-folderku.
Jam menunjukkan pukul 1 dini hari, ketika aku mulai membuka-buka folder koleksi photoku dari berbagai negara, hingga aku membuka folder Italia. Aku mengklik folder yang sebelumnya sudah terisi gambar-gambar di sebuah pulau di Itali, hingga gambar sebuah kursi kosong. Aku terdiam,, dan menatap gambar kursi kayu tua itu, ingatanku kembali melayang.
Aku mulai merapikan kembali laptopku, dan beranjak tidur hingga esok hari dan tiga hari selanjutnya.
Jepretan demi jepretan kameraku mulai mengabadikan berbagai pertunjukan sebagai simbol perayaan ras yacht internasional Vela Latina Mediterranea yang rutin diadakan setiap tahun di sekitar pantai ini.
Banyak acara yang ditampilkan, mulai dari live band, berbagai perlombaan, hingga turnamen voli pantai yang dimainkan oleh wanita-wanita cantik dan seksi, moment inipun tak luput dari mata kameraku untuk divisualisasikan. Di sepanjang pantai, aku juga bisa melihat banyak perahu layar yang berkembang dengan hiasan-hiasan cantik disisi kiri kanan kapal kecil mereka. Suasana pantai indah ini begitu ramai setiap tahun, terutama jika ada perayaan seperti saat ini.
Banyak acara yang ditampilkan, mulai dari live band, berbagai perlombaan, hingga turnamen voli pantai yang dimainkan oleh wanita-wanita cantik dan seksi, moment inipun tak luput dari mata kameraku untuk divisualisasikan. Di sepanjang pantai, aku juga bisa melihat banyak perahu layar yang berkembang dengan hiasan-hiasan cantik disisi kiri kanan kapal kecil mereka. Suasana pantai indah ini begitu ramai setiap tahun, terutama jika ada perayaan seperti saat ini.
Selepas menikmati perayaan tahunan hingga larut malam, lantas aku merapikan peralatan rekamku dan bergegas kembali ke hotel. Membersihkan badan dan mulai membuka laptopku di meja kecil samping tempat tidur. Dengan celana putih selutut dan kaos oblong yang berwarna putih ditemani secangkir kopi serta roti coklat, aku mulai memindahkan photo-photo hasil jepretan seharian ini ke folder-folderku.
Aku sangat menyukai photografi, padahal aku seorang mahasiswa jurusan kedokteran di universiteit van Amsterdam, Belanda. Namaku Thoni, tepatnya Anthonius Hugo Quinten, lahir 4 April 1986 di Den Haag, salah satu kota tebesar di Belanda. Anak tunggal seorang CEO salah satu perusahaan terkemuka Den Haag. Keliling ke berbagai negara setiap bulanpun tak mungin menghabiskan sepertiganya harta orang tuaku. Harta yang melimpah, dikaruniai wajah yang tampan dengan postur tubuh yang proporsional seharusnya membuatku gampang mencari teman wanita seperti layaknya pria-pria lain. Tapi tidak denganku, aku sendiri merasa heran, aku memang suka mencari kesenangan keluar, menghamburkan uang dengan melakukan perjalanan dan membeli sesuatu yang tidak penting, tapi sekalipun tak pernah terpikirkan olehku tentang mencari wanita. Aku pernah jatuh cinta pada seorang wanita teman sekolahku waktu SMA, tapi ia meninggal karna penyakitnya, sejak itu aku sulit sekali jatuh cinta atau sekedar mencari hiburan dengan mengencani beberapa wanita, tapi tidak kulakukan. Aku lebih suka menikmati menghabiskan uangku dengan menikmati keindahan alam dan tradisi di berbagi negara.
Seperti saat ini, di Pantai Poetto, merupakan pantai terpanjang dan terbaik di seluruh lingkungan disekitarnya, dengan panjang sekitar 11 km dan terdiri dari pasir putih halus yang indah. Pantai yang membentang dari Sella del Diavolo (Devil’s kursi) ke pantai Quartu Sant’Elena ini terletak di pulau Sardinia, sekitar 5 km dari pusat kota Cagliari, sebuah kota kecil di Italia.
Baru 2 hari aku menginjakan kaki di kota ini, sebuah kota yang terletak di atas bukit lengkap dengan dua menara Rabu Pancras dan Gajah towernya. Aku mendarat di bandara Elmas, di pinggiran kota Cagliari, dan memutuskan menginap di hotel duo colone yang kebetulan bersebrangan dengan bandara Cagliari. Hotel mewah dengan pelayanan yang profesional ini kubayar seharga 94 US$ perhari, tapi seimbanglah karena hotel ini memiliki ruangan kamar yang berfasilitas lengkap, AC dan pesawat TV, dengan kasur empuk dan sprei lembut dari satin serta kamar mandi yang juga mewah, yah seperti yang kuharapkan, tempat yang nyaman untuk menginap seperti di kota-kota lain yang pernah kukunjungi. Biasanya aku sengaja mencari kota atau pulau-pulau kecil yang jarang dikunjungi orang atau kurang terkenal di negaranya sendiri apalagi oleh negara lain, jauh dari keramaian dan kebisingan. Dengan begitu, aku bisa menemukan pengalaman-pengalaman baru serta menikmati suasana baru yang bisa memusnahkan kepenatan.
Enam bulan yang lalu aku sempat mengikuti perayaan Vaisakhi, yaitu festival populer di India. Disana, aku melihat berbagai kesenian India, mulai dari tari-tarian rakyat yang paling terkenal seperti Bhangra, Bhavai atau teater rakyat hingga petunjukan musik tradisional dan daerah. Semua kupotret dengan kameraku. Setelah sebelumnya aku mengabadikan keindahan alam di daerah pedesaan kawasan Hokaido, Jepang. Kota yang memiliki ladang pertanian yang luas terbentang bagaikan selimut tebal yang menutupi seluruh permukaan bumi itu, membuatku sangat nyaman. Apalagi aku juga sempat ikut merayakan hanami (menonton bunga-bunga sakura yang bermekaran) di salah satu taman kota di Tokyo. Di pinggir jalan, tepian sungai, taman-taman, semuanya penuh dengan pemandangan bunga khas negara matahari terbit itu.
Jam menunjukkan pukul 1 dini hari, ketika aku mulai membuka-buka folder koleksi photoku dari berbagai negara, hingga aku membuka folder Italia. Aku mengklik folder yang sebelumnya sudah terisi gambar-gambar di sebuah pulau di Itali, hingga gambar sebuah kursi kosong. Aku terdiam,, dan menatap gambar kursi kayu tua itu, ingatanku kembali melayang.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama aku menginjakan kaki di Italia, dua tahun lalu, aku menghabiskan masa liburanku di kota Napoli, tepatnya di pulai Ischia. Sebuah pulau yang memiliki pantai nan indah. Spiaggia, pantai dengan pasir emas yang demikian halus memaksa setiap pejalan kaki untuk tidak mungkin tidak berjalan di sepanjang pantai ini.
Dua tahun yang lalu di Pulau Ischia,
Selama seminggu berada di sini, menikmati indahnya pantai dan mengabadikan gunung-gunung yang berjajar memagari Spaggia, selama seminggu itu pula aku melihat wanita itu. Wanita yang misterius.
Aku bisa menggambarkan dia, wanita berusia sekitar 20 tahun, berambut panjang sepunggung yang tiap kulihat dibiarkan tergerai kusut seolah tak pernah dipedulikan pemiliknya, ah sayang sekali.. tatapan mata kosong dengan bibir selalu terlihat seperti bersenandung, atau mungkin juga bergumam, kadang sesekali tersenyum. Switter biru berlengan panjang dibalut syal yang melilit lehernya serasi dipadu dengan rok sedikit dibawah lutut berwarna putih bersih. Sebentar-sebentar juntaian roknya melambai tertiup angin pantai diikuti gerak rambutnya.. wanita itu tak pernah bergeming dari posisinya, tak pernah juga memalingkan perhatian dari menatap hamparan laut lepas di hadapannya. Kakinya menjejak butiran pasir lembut yang mulai menempel di tumitnya. Dia duduk sekitar 5 meter dari tempatku berdiri. Aku tahu dia menyadari keberadaanku, tapi aku juga tahu bahwa kehadiranku sama sekali tidak mengganggu pikirannya.
Sempat tergerak hatiku untuk mendekati dan menyapanya, namun melihat tatapan matanya yang kosong membuatku ragu dan mengurungkan niat. Aku tak ingin mengganggunya. Bahkan untuk membuat ia jadi objek photoku pun aku tak berani. Aku hanya memperhatikan dari jauh selama berhari-hari, setiap hari.
Tapi tidak di hari ini, dua hari terakhir aku tinggal di pulau ini. Aku tidak melihat wanita itu duduk di kursi tempat biasa ia duduk, aku mendekat ke arah kursi kosong itu. Benar-benar kosong, kutunggu hingga matahari tebenam namun ia tetap tak datang. Hingga esok hari, hingga aku pulang ke Den Haag tetap tak ada. Aku menyesal kenapa tak sempat mengenalnya, wanita itu benar-benar membuatku penasaran. Hingga dua minggu setelah kepulangankupun, masih tetap dapat kuingat bayangan wanita itu. Siapa, ke mana, dan di mana ia sekarang aku tak tahu. Hingga semua berlalu seperti biasanya. Hingga kini, dua tahun berlalu,,
Aku mulai merapikan kembali laptopku, dan beranjak tidur hingga esok hari dan tiga hari selanjutnya.
Pagi ini, aku bersiap-siap meninggalkan kota Cagliari dengan pantainya yang indah. Menuju bandara disebrang hotel. Ketika akan memasuki bandara, tiba-tiba aku melihat seorang wanita, pakaian yang ia kenakan sangat berbeda dengan wanita-wanita kota ini. Seluruh tubuhnya di tutup baju lengan panjang dan rok yang menyapu jalan, ia juga mengenakan kain lebar menutupi kepalanya, pakaian yang ia kenakan sama persis seperti wanita-wanita yang pernah ia temui di Islamic center ketika berkunjung ke Indonesia. Semua tertutup rapi, tapi aku bisa melihat wajahnya, bukan hanya melihat, namun mengenalnya. Sangat mengenalnya, walau dua tahun telah berlalu, walau aku tak sempat bertatapan langsung dengannya, namun aku masih belum melupakan tatapan kosong itu. Wanita pulau Ischia.
Aku bergegas menghampirinya, menyapanya, namun jelas ia tak mengenalku. Ketika aku menceritakan tentang pulau Ischia, ia kemudian tertunduk, seperti menangis, namun kemudian tersenyum.
Emma Charlotte, gadis berusia 22 tahun yang telah diusir dari keluarganya. Menurut ceritanya ia terlahir sama sepertiku, berasal dari keluarga kaya raya, ayahnya seorang pejabat tinggi di pusat kota San Diego Amerika Serikat, sementara ibunya seorang pemilik salon dan butik terkenal di kotanya. Harta melimpah dan kemewahan seperti yang ia rasakan sempat dirasakan Emma juga selama 20 tahun, sebelum ia bertemu dengan seseorang yang banyak mengajarkan tentang Islam, sebuah agama yang menurutnya adalah agama terindah dari segala yang ada. Agama yang membuatnya merasa lebih tegar dan bisa mensyukuri nikmat dunia dan ketenangan jiwa selain harta. Selama ini, ia hidup diantara keluarga tanpa pegangan agama yang jelas, harta yang melimpah tidak menjamin kebahagiaan bagi Emma, berbeda ketika ia mengenal islam, hidupnya berubah. Namun keputusannya untuk mencintai islam ditentang orang tuanya, bahkan ia diberi pilihan “orang tua atau islam”..??
Berminggu-minggu Emma merenung dan mengunjungi kota-kota kecil termasuk pulau-pulau di Italia, untuk menenangkan diri dan membuat keputusan terbesar dalam hidupnya. Akhirnya ia memilih meninggalkan orang tuanya.
Emma baru tiba di Cagliari untuk menemui sahabatnya sesama muslim. Saat ini ia tinggal di Roma Italia, belajar islam dari gurunya dan membuka usaha berjualan kue kering. Tak ada sedikitpun penyesalan yang tampak dari cara ia bicara, justru mata Emma berbinar ketika bercerita tentang agamanya. Ia sangat berharap suatu saat bisa kembali memeluk orang tuanya dan mengajak mereka menganut kepercayaannya sekarang.
Selama dalam penerbangan mulai dari Elmas hingga Sciphol, Amsterdam, aku tetap terpejam memikirkan Emma, wanita yang pernah kutemui di pulau Ischia. Seperti apakah islam..??? sedahsyat apa kekuatan agama itu hingga membuat seseorang rela meninggalkan segala kemewahan hartanya termasuk keluarganya dan memilih tinggal di pulau kecil di kota ini. Aku sangat penasaran ingin mengenalnya, mengenal islam.
0 Comments
Silahkan tinggalkan pesan di sini: