Surat pendek untuk Ridha..
Ridha, sahabat terbaikku. kau memang tak sempat melihatku. Tapi ijinkan aku mensyukuri nikmat hidup sekali lagi dengan meminjam ragamu dan memandang keindahan dunia lewat mataku
Pertama kali aku mendengar alunan nada biola sehalus ini, menyayat hati. Seperti irama yang menceritkan sepasang kekasih yang saling menguatkan. Aku tahu, dari ratusan penonton yang duduk berjejer ini mungin hanya tiga atau empat orang yang tidak teriris ulu hatinya mendengar alunan suara menggetarkan jiwa.
Tepuk tangan riuh mengakhiri pertunjukan, perlahan layar ditutup,aku menyeka kedua mataku yang sembab. Pria yang duduk di sampingku menggenggam tanganku erat, tersenyum ke arahku, “Kamu suka?” aku hanya tersenyum masam.
Di mobil, yang melaju dengan kecepatan yang sedikit pelan. Aku tetap mematung, terdiam. Bukan karena ngantuk, atau dinginnya AC yang membuat lidahku kelu. Aku teringat gadis itu, gadis berkerudung hitam yang sekitar setengah jam yang lalu mengalunkan nada-nada surga meruntuhkan amarah hati, membangkitkan semangat jiwa yang terpuruk, membuat air mata siapapun terjatuh tanpa bisa dihentikan. Bukan, bukan hanya itu, bukan hanya permainan tangan lembutnya yang piawai menciptakan irama menyejukkan. Tapi karena diapun sama sepertiku, duduk di atas kursi roda, dengan kedua kaki yang tak bisa difungsikan layaknya manusia normal lainnya. Bedanya, aku adalah penderita patah kaki akibat kecelakaan kendaraan sekitar 3 tahun yang lalu. Sedangkan Ridha, nama gadis itu, menderita kelumpuhan sejak ia dilahirkan. Tidak hanya itu, yang lebih mengejutkan adalah ketika aku tau bahwa Ridha juga adalah penderita kongenital amaurosis Leber atau kehilangan penglihatan sejak kecil alias buta, gadis manis itu juga tidak bisa berbicara. Entah apa yang diwariskan orang tuanya kepada gadis secantik Ridha yang terlahir dengan berbagai macam penderitaan yang ditanggungnya selama hidup.
Tapi ia tetap seperti wanita pada umumnya, dari fisik, ia terlihat normal. Wanita berkulit putih dengan dua lesung pipi di kedua pipinya itu terlihat sangat anggun, dengan baju gamis dan kerudung hitam yang selalu dikenakannya membuat ia semakin terlihat cantik. Hidungnya mancung dengan dagu yang lancip, membuat pria manapun terkagum-kagum melihatnya. Mungkin hanya kursi roda yang menonjolkan ketidaksempurnaannya. Semua orang akan tahu bahwa ia tak bisa berjalan normal. Tapi apakah mereka tau, bahwa gadis cantik itu juga tidak bisa melihat dengan kedua bola matanya, dan tidak bisa berbicara seperti wanita-wanita yang lain. Tapi senyum itu, senyum ikhlas yang selalu tersembul dari bibirnya membuatku semakin terpuruk malu.
Dia, adalah Ridha. Usinya 24 tahun. Ketegaran gadis itu menerpa badai hidup begitu menyentuh hatiku. Sejak 6 bulan yang lalu sejak konser untuk para tunanetra itu digelar, aku mulai dekat dengan Ridha. Kadang, seminggu sekali aku berkunjung ke rumahnya yang sangat sederhana. Rumah kecil mungil itu berdiri dihiasi pepohonan dan bunga yang menghiasi lingkungan sekitar rumah. Ada tiga buah kursi dengan satu meja bundar di depan rumah mungilnya. Tempat Ridha memainkan biola dan menciptakan nada-nada syahdunya. Ia tinggal bersama dengan adik kecilnya, Shifa nama gadis kecil itu, baru berumur 12 tahun. Orang tuanya sudah lama meninggal sejak Shifa dilahirkan, karena kecelakaan. Mereka tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Lagu-lagu Ridha yang akhirnya bisa membuat mereka bertahan hingga bertahun-tahun ini. Ridha juga mengajarkan permainan biola pada anak-anak di sanggar milik om Lucas, tak jauh dari rumahnya. Biasanya ia diantar jemput oleh Stef, supir pribadi om Lucas. Tante Rhe, istri om Lucas sangat baik pada Ridha dan Shifa, kebetulan mereka tidak memiliki anak diusia mereka yang sudah hampir menginjak 40 tahun. Berkali-kali mereka membujuk Ridha untuk tinggal di rumahnya saja, tapi keduanya menolak karena tidak mau meninggalkan rumah orang tua mereka tercinta.
Tiga kali dalam seminggu, Ridha mengajarkan biola di sanggar seni om Lucas. Shifa, gadis manis yang juga berhidung mancung itu selalu setia menemani kakaknya. Sebelum berangkat sekolah, ia memasak, membersihkan rumah. Setiap hari Shifa juga yang belanja kebutuhan hidup, kebutuhan kakaknya juga memilih warna baju yang cocok untuk Ridha. Hubungan kedua kakak adik yang saling mengasihi, menyentuh. Keramahan mereka adalah segalanya buatku.
Setiap aku membuka pagar rumahnya, senyum hangat Shifa menyambutku, berlari kecil ke arahku dan mendorong kursi rodaku. Menyandingkan aku dengan Ridha yang sejak pagi tadi menunggu kedatanganku. Dia sangat cantik, berbalut gaun merah jambu dengan kerudung putih lebarnya, rok panjangnya menjuntai senada dengan sepatu dan kaus kaki yang menutupi jari-jarinya, anggun sekali, sungguh pintar Shifa memadamkan pakaian untuk kakaknya. Perlahan Shifa berbisik mengisyaratkan bahwa aku sudah datang, Ridhapun tersenyum manis sekali dan mengangkat tangannya. Aku buru-buru menyambut kedua tangan halusnya dan tersenyum.
Aku dan Ridha sama-sama berdiam diri sesaat membiarkan angin senja menampar wajah kami. Beberapa saat lalu, aku menceritakan kehidupanku. Aku, Felline Olivier Nathan, adalah seorang gadis yang lincah, ketua cheers yang pintar, pemain basket yang seksi, cantik dan kaya raya. Apa saja aku bisa dapatkan dari orang tuaku, selalu menjadi murid di sekolah favorit, tercatat sebagai mahasiswi Technische Universiteit Delft (TuD), Universitas terkenal di kota Delft, Belanda Selatan. Aku bisa bergonta gati pacar semauku, memiliki banyak teman, semua peduli, dan semua sayang padaku. Tiap minggu aku mengadakan pesta di luar kota, menghabiskan waktu dengan teman-teman, minuman, bahkan memakai obat terlarang. Semua itu atas sepengetahuan orang tuaku, tapi mereka membiarkannya. Aku terbiasa hidup seperti ini, serba mewah.
Hingga suatu saat, keluargaku ditimpa bencana. Kecelakaan maut merenggut nyawa kedua orang tuaku, sedangkan aku harus harus kehilangan kedua kakiku. Musibah itu tak berhenti sampai di situ. Aku divonis kanker paru-paru stadium akhir, mungkin ini akibat banyaknya nikotin yang aku konsumsi selama bertahun-tahun dan aku sama sekali tidak mempeduliknnya. Perlahan harta kekayaan orang tuaku habis untuk biaya perawatanku. Sejalan dengan berkurangnya tingkat konsentrasiku ditiap pelajaran kampus. Teman-teman mulai menjauhiku, entah apa yang ada dalam pikiran mereka seolah jijik dekat denganku, entah karena aku sudah tidak lagi punya uang, aku tak lagi memiliki kaki yang mulus dan lincah dan keadaanku sudah sangat berantakan. Aku frustasi, beberapa kali mencoba bunuh diri, tapi tak jua berhasil.
Hari-hariku selama hampir 2 tahun terakhir mengurung diri dalam kamar. Paman Pieter, satu-satunya keluarga yang tersisa akhirnya membawaku jauh dari kota, meninggalkan Delft. Meninggalkan kehidupanku yang lama, berusaha menenangkanku. Lumayan berhasil, setelah 6 bulan kemudian, aku sedikit bisa tersenyum dan mulai sering keluar rumah dibantu bibi Donna, berkeliling menikmati udara pagi dan sore, check up ke dokter, dan mengunjungi tempat-tempat hiburan. Termasuk terakhir kemarin, aku diajak ke salah satu konser tunanetra yang digelar Om Lucas, yang ternyata sahabat paman Pieter. Dari konser itu yang akhirnya mempertemukan aku dan Ridha, merubah hari-hariku, menjadi wanita yang bersyukur. Melihat Ridha aku merasa sangat malu, ternyata penderitaanku tak ada apa-apanya bagi Ridha. Gadis cantik dengan agamanya yang taat mengajariku segalanya. Meski ia tak pernah melihatku, mengucapkan ‘sahabat’ padaku, namun aku tahu ia adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.
Surat pendek untuk Ridha..
Ridha, sahabat terbaikku. kau memang tak sempat melihatku. Tapi ijinkan aku mensyukuri nikmat hidup sekali lagi dengan meminjam ragamu dan memandang keindahan dunia lewat mataku.
Hari ini, Ridha si cantik berkursi roda mengakhiri alunan nada indah di konser pertamanya yang berjudul “Nada Surga Untuk Felline”
Ridha tersenyum di atas kursi rodanya, memandang jutaan penonton yang memadati ruang konser gedung megah yang berada di City Hall. Kali ini ia memandang dengan kedua matanya, kedua mata sahabatnya, Felline, yang beberapa saat sebelum kematiannya akibat kanker ganas yang ia derita, berwasiat untuk memberikan matanya pada Ridha.