Aku tertatih tatih menata hati yang rapuh,
Mencoba menghapus luka semampuku,
Membaringkan sakit, meninabobokan kekecewaan
Sejenak, agar aku kembali berdiri tegar melanjutkan hidup
Kalau aku mau, aku bisa saja menghutang racun serangga,
Lantas menenggaknya
Atau meminjam pisau tetangga, lalu menghujamkan tepat di dada,
Dan yang lebih irit lagi, menggantungkan leherku pada tali jemuran
di atap rumah tanpa plafon,
Karena untuk mencari cara matipun,
aku harus memikirkan jangan sampai keluar banyak uang.
Tapi toh tidak kulakukan, dan tak akan pernah.
Apa aku semiskin itu?
Sepertinya tidak...
Aku berniat menjatuhkan diriku di kubangan,
Melupakan masalahku dengan minuman memabukan dan sejenisnya,
Namun tetap itu terlalu mahal
Atau aku banting setir menjadi perampok,
tapi aku takut gelap andai aku kelak di penjara karena tertangkap aparat.
Ahh untuk menjadi ‘biadab’pun aku benar-benar penuh perhitungan.
Apa hanya karena itu?
Tampaknya bukan...
Aku ingin berlari mengejar dia, memeluk dan menghujaninya dengan ciuman
Seperti yang mereka lakukan tiap malam di bawah remang-remang lampu jalanan.
Nyatanya, aku tak seberani itu
Apa aku pengecut?
Tidak, aku bukan banci...
Tapi aku ingin tetap bertahan berpijak di dunia ini,
karena hanya satu alasan.
Karena aku mencintainya
Walau aku telah ia buang, ia campakan.
Berlalu dengan laki-laki itu, dihadapanku.
Dan tak pernah berbalik arah atau sekedar menengok ke belakang
Lalu mengambilku kembali, di antara tumpukan sampah.
Aku belum berani menjadi bajingan.
Aku baru berupa janin
yang beberapa jam lalu kau keluarkan dari rahimmu lantas kau buang.