Sengaja ganti nama blog, sengaja dengan “Kertas Merah jambu”, sengaja juga tidak mengubah template menjadi sebuah lembaran kertas yang berwarna merah muda. Ada ceritanya tentu :)
Kertas merah jambu adalah kenangan, yang sesekali kuingat-ingat lagi di hari ini. Kertas merah jambu adalah kisah, mengantarkanku menuju perjalanan yang cukup panjang. Berikut sebuah cerita yang berusaha kupikir lama, cerita demikian usang.
10 tahun yang lalu, tahun yang cukup banyak jumlahnya untuk melalui beberapa kisah, pahit, manis, menyenangkan, menyedihkan, begitulah kehidupan. Aku pernah jatuh cinta dan dijatuh cintai seorang pria, dengan umur yang masih dikatakan belum pantas di masaku. Karena berbeda masa, tidak seperti saat ini dimana anak belia tidak malu-malu mengatakan “aku suka dia”. Cintaku terlalu lucu dan menggelikan untuk sekedar diingat-ingat apalagi dituliskan. Tapi tidak demikian, setelah saya membaca sebuah postingan blog seorang teman yang dengan manis menceritakan kisah masa cinta kanak-kanak, ternyata mengasyikan juga untuk dikenang. Terutama adalah cerita ini menjadi sebuah judul besar blog pribadiku. Kertas merah jambu, bersampul amplop warna senada dengan pita lucu dipojok sebelah kiri atasnya. Itu adalah surat cintaku yang pertama dari dia (pipi memerah)
–berhenti sejenak-
Mengingat-ingat…
Tidak berhasil, aku memang gampang lupa, kenanganku mudah lepas dari ingatan. Aku tidak bisa menangkap cerita bagaimana surat beramplop merah muda itu masuk di jendela kamarku, tanpa nama. Aku dengan ‘dia’ bertetangga, persis berdampingan. Keluarga pindahan, tapi entahlah bermula dari mana aku dan dia berkenalan. Sesuatu yang paling kuingat adalah menginjak usia 12 tahun, itu pertama aku menginjak bangku sekolah menengah pertama dan aku jatuh cinta. Saat itu merasa bahwa aku belum pantas menyukai seorang pria, tapi dia begitu baik dan terlihat dewasa dengan kata-kata yang diucapkannya. Jarak usia antara aku dan dia berbeda, 4 tahun kalau tidak salah, aku lupa. Iya, ingatanku memang payah.
-terhenti lagi-
Begitu saja, hari-hari kulalui dengan banyak tawa, iya sejak bersama dia aku jadi lebih mudah merasa bahagia. Tidak ada sesuatu istimewa yang terjadi di tahun-tahun awal aku mengenalnya, tapi menginjak usia tahun kedua. Dia mulai menunjukan perhatiannya, dan sesekali meraih tanganku ketika hendak jatuh. Kami memang sepermainan sehari-hari, tapi aku membayangkan dia menemani hari-hariku selanjutnya. Haha, iya iya itu pikiran polosku kala itu. Banyak detik-detik bermakna yang aku tak mampu gumamkan. Bijaksana saja berpikirnya, bagaimana layaknya orang seusiaku jatuh cinta.
-kesekian kali, aku mencoba ingat-ingat sisa ceritanya-
Di tahun ketiga, aku sudah semakin dekat. Diapun merasa bahwa aku merasakan kenyamanan setiap duduk bersebelahan, entah nyaman sebagai apa. Aku tidak tahu yang dia pikirkan apakah sama seperti yang aku rasakan. Dia tahu aku suka menulis, menulis apa saja. Dia tahu aku gampang marah dan selalu setia menyeka air mataku yang murahan jatuh tanpa alasan. Waktu dan kebersamaan rupanya mengajarkan cara mengenal baik hidup seseorang. Begitupun aku. Aku tidak ingin mendengar kisahnya, aku hanya ingin didengarkan, dan dia hanya mengangguk dan menggenggam tanganku lembut. Aku tersenyum senang dan sangat kekanak-kanakan. Aku 14 tahun, dia delapan belas.
-turun hujan. Tulisan ku hentikan-
Akhir-akhir aku duduk di bangku sekolah menengah pertama, awal-awal aku merasa bahwa aku mulai mengukuhkan tujuan hidupku adalah dia, itu masa terindah yang tak mampu aku lupa. Sepayah-payahnya ingatanku, aku tetap ingat bahwa banyak malam yang memutar mimpi-mimpi tentang gaun pengantin dengan mempelai bahagianya adalah aku dan dia, hahaha (tertawa saja). Tapi tidak berlanjut lama, harapan yang baru saja hendak aku bangun dia kikis begitu saja, dalam sehari.
-ending-
Aku mengingat-ingat klimaks ceritanya, disaat-saat aku merasa bahagia. Suatu senja yang hujan, aku melihat sepucuk surat terselip di balik kisi-kisi jendela kamarku yang kebetulan menghadap dinding samping rumahnya. Aku buka seragam putih biru, dan tergesa mengambil kertas yang beramplop merah jambu, ada gambar hati dan boneka cantik tersenyum ke arahku, cantik sekali.
“Aku tidak selamanya bisa menggenggam tanganmu, tapi aku tahu melalui jari-jari lembutmu kau mampu menuliskan kisah kita dengan baik, bahkan sangat baik yang sewaktu-waktu aku bisa baca. Dek, terbitkan tulisan apapun dari tanganmu. Aku menyayangimu sejak pertama kau menatap mataku.” _dariku, yang mencintaimu
Itu surat cinta pertamaku. Dadaku berdebar, jantungku memompa darah dua kali lipat lebih cepat dari biasa. Bahkan setiap makanan yang kusuap, terasa tidak masuk ke mulut dan tanpa sadar apa yang aku kunyah. Semua serba melayang, sayap-sayapku perlahan merekah, mulai siap terbang. Aku percepat semua pekerjaanku, memutar jarum jam agar tidak berjalan payah-payahan. Untuk sesaat, satu hari itu aku benar-benar bahagia.
Hanya satu hari, esok harinya setelah senja yang indah itu aku baru mengetahui bahwa ia telah pergi dari rumahnya. Pergi ke kota yang jauh, yang aku tak tahu entah kemana. Sayapku melemah, air mataku tak mampu jatuh saking sesaknya. Aku lupa bagaimana cara melukiskan bagaimana sakit dan kecewanya hatiku kala itu. Semua mimpi-mimpiku berubah jadi menyeramkan, dan aku enggan melewati malam, karena aku tahu saat-saat itu bayangan dia biasa berlalu-lalang. Aku terjerembab dalam lipatan-lipatan kesakitan, mencoba memapah luka namun tetap kembali jatuh perlahan. Aku sangat kehilangan.
Satu-satunya yang aku punya adalah kertas merah jambu yang ia selipkan di kisi-kisi jendela kamarku. Yang perlahan menjadi kian lusuh dan huruf-hurufnya menghilang dimakan waktu. Beruntung kata yang ia ucapkan berhasil kurekam dalam ingatan, itu satu-satunya alasan aku bisa menulis apapun yang aku dan ia sama-sama suka, sama-sama pernah terlewati dan tentu yang pernah ia ceritakan.
Terima kasih sudah mempercayai jemari yang kau genggam dulu bisa menuliskan kenangan, berharap kelak suatu saat kau baca. Karena kini aku tak mampu mencintaimu utuh. Berbahagia buat kau dan istrimu, kekasih masa laluku :)