Usia pernikahanku baru enam bulan, tepatnya enam bulan sepuluh hari. Selama menikah dengan mas Yudha, sosok pria tampan, sholeh dan sangat pintar itu, belum ada tanda-tanda perbaikan diri juga padaku, masih malas-malasan dalam beribadah terutama. Setiap malam, mas Yudha membangunkanku shalat tahajud, bahkan sampai tadi malam aku masih saja belum tersadarkan bangun sendiri. Aku paham betul akan keutamaan shalat malam tersebut, tapi rasa malas masih seringkali datang. Aku penulis, juga pembaca, aku baca semua buku, apa yang aku tidak tahu. Tapi entahlah, pada prakteknya aku memang sangat payah. Beruntung suamiku itu makhluk yang sabarnya melebihi manusia-manusia normal di muka bumi ini, apapun yang aku lakukan dia tak pernah marah atau kesal. Aku bahkan ingin membuat dia marah dengan kemalasanku, tapi tidak. Dia teramat terlalu sangat sabar menurutku. Tersenyum manis, membelai pipiku lembut, dan menasihatiku dengan pelukan. Istri mana yang tidak luluh mendapat perlakuan suami sebaik itu.
“Masa sih mas, ibu ibu sekomplek ini masiiih aja usil. Cuma gara-gara bu Neti yang di ujung sana itu kemaren bolak balik ke Singapura, tiap pagi diomongin, loh yaa terserah bu Neti dong, dia punya uang banyak, suaminya kaya, pada sirik aja itu ibu-ibu.”
“Lah, kamu sendiri kok ngomongin?” suamiku tertawa lucu sambil membersihkan aquarium mini dekat dapur.
“ish, siapa yang ikut ngomongin? Aku Cuma bilang ‘ya mungkin bu Neti lagi punya rezeki lebih bu’ gituu, eeh terus aja mereka ngomongin, uangnya hasil korupsi lah, malah ada yang kejam bilang itu tuh uang dari selingkuhannya gitu mas”.
“Hmm, besok bareng mas aja ke pasar pagi-pagi beli sayurnya sambil lari pagi, oke”.
Mas Yudha mengecup ubun-ubunku sambil berlalu ke kamar mandi. Aku yang sibuk memotong-motong terong serong, langsung terdiam. Yaa ampuun, nyebelin banget siih, tanggepin kek aku kan lagi curhat. Aku percepat memotong terong dengan bentuk tak karuan.
“Kok mas mau sih menikah denganku?” ini sudah pertanyaan ke sekian puluh kali aku lontarkan. Namun hingga kini masih aku tak yakin dengan jawabannya atau memang ingin selalu mendengar penjelasan setiap kali suamiku menjawab pertanyaanku.
“karena kau berbeda dengan wanita lain”.
“Iya berbeda, aku yang manja, pemalas, banyak tidak tahunya, banyak protesnya, bukan wanita muslimah banget kayak mbak mbak teman suamiku yang ganteng ini”.
Lagi-lagi dia terkekeh meninggalkanku sambil mengusap-usap gemas kepala sampai jilbabku rusak, kalau sudah begitu aku bersungut-sungut kesal, sambil merapikan jilbab dan masih penasaran dengan pertanyaan-pertanyaan yang digantungkan suamiku.
Usai makan malam, seperti biasa aku merapikan meja makan dan mencuci piring. Setelah sebelumnya mengupas buah-buahan sebagai pencuci mulut untuk suamiku.
“mas, kalau misal kantorku mengirimku berangkat ke luar kota untuk beberapa hari, boleh?”
“ke mana?”
“Mm rencananya, ada liputan ke Surabaya minggu depan, mungkin dua atau tiga hari”.
“Kamu kan editor dek, bukan wartawan”.
“hmm iya sih, kebetulan penulis yang lain masih di luar kota juga mas. Jadi gak ada lagi yang ke lapangan, jadi mau gak mau aku harus pergi. Boleh?”
“dengan siapa?”
“Mbak Eva, pimredku langsung. Kebetulan rumahnya kan di Surabaya, jadi aku bareng aja sekalian dengan dia. Mm aku sih sudah Tanya boleh gak ajak suamiku? Gitu, dia senyum aja”.
“Haha, aku kan juga mesti kerja dinda, hmm lihat minggu depan deh. Boleh apa enggak”. Bisik mas Yudha tepat di belakangku. Aku tersenyum dan mengusap pipinya dengan sabun pencuci piring, dia mengelak dan aku terus memburunya, berkejar-kejaran seperti anak-anak.
***
“sudah siap semua dinda?”
“Sudah mas, cuma tiga hari aja kok. Nanti pasti ku telpon setiap hari”. Mataku menatapnya sendu.
Mas Yudha mengecup keningku mesra, ini kali pertama aku meninggalkan suamiku semenjak pernikahan kami. Walau sebelumnya aku selalu pulang pergi ke lain kota bahkan untuk beberapa minggu, dan sebulan tidak pulang, tapi kali ini lain. Aku meninggalkan suamiku sendirian. Tidak ada sama sekali ketakutanku kalau mas Yudha selingkuh atau semacamnya, hanya saja aku merasa sangat kehilangan dan seakan-akan hendak berpisah sangat lama.
“Nisa yang bantu urus rumah kok kak, tenang aja hehe. Bawa oleh-oleh yaa jangan lupa.”
Aku menoleh dan tersenyum, untung ada Nisa. Satu-satunya adik mas Yudha yang akan membantu menyiapkan semua kebutuhan suamiku beberapa hari ini. Masak, bersih-bersih.
“Maaf ya, Nis. Aku merepotkan”. Ucapku pelan sesaat sebelum mobil jemputan dari kantor datang
“mas Yudha kan sebelum ketemu kak Haura juga sudah merepotkan Nisa haha. Gak apa-apa kok kak, Nisa jagain, kebetulan kan kuliah Nisa siang jadi paginya bisa ke sini buat masakin”.
“kenapa gak tidur di sini aja, Nisa?”
“Gak ah kak, biar di rumah aja.”
“Sekali lagi terima kasih, Nisa. Aku titip masmu yaa”. Aku memeluk Nisa erat
Mobil jemputanku datang, aku bergegas, mas Yudha, Nisa dan sopir kantorku membantu memasukan barang bawaan. Ku peluk Nisa, mencium tangan mas Yudha dan menatapnya lekat.
“Bismillah, Allah bersamamu dinda, telephone aku kalau sudah sampai yaa”. Seperti biasa mengecup ubun-ubunku
Aku mengangguk ragu, sebelum kaca penuh ditutup aku melambaikan tangan dan memandang mas Yudha seakan benar takut kehilangan.
**
masih bersambung pemirsaaa :)
masih bersambung pemirsaaa :)
0 Comments
Silahkan tinggalkan pesan di sini: