Wah, sudah berapa hari saya tidak berkunjung ke rumah persinggahan saya sendiri, -bagi saya, blog itu adalah rumah persinggahan (isi kepala)-. Akhir-akhir ini di kantor agak sedikit lumayan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan cepat, beriringan dengan pergantian management yang mengelolanya. Sebab itu yang menjadikan saya mulai jarang menulis di blog, sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan. Atau memang saya hanya mencari-cari alasan untuk agar terlihat sibuk dan sah-sah saja lama tidak posting tulisan di sini, haha
Apapun lah ya,
yang jelas pada kenyataannya saya sudah cukup lama tidak posting apa-apa.
Padahal dulu awal-awal pindah domain, saya berjanji akan menulis minimal
seminggu tiga kali, tiga kali apa?
Terlalu banyak
basa basi (terutama dalam prolog tulisan) adalah bukan kebiasaan saya
sesungguhnya. Tapi entah, karena kali ini saya juga bingung hendak bercerita
tentang apa. Dituntut harus sesuai judul blog, apapun yang saya tulis adalah
ceritanya saya, iya kan ya? Bukan tentang apa-apa, bukan tentang siapa-siapa,
atau cerita siapalah apalah yang harus ada hubungannya dengan saya, begitu kan
ya?
Ini hari ke-10
puasa tahun ini, (walau ini baru hari ke-3 saya puasa, hehe) tidak ada
banyak hal yang saya lakukan selain menulis, membaca, menulis, membaca begitu
terus berulang-ulang. Banyak buku baru hadiah dari teman-teman ketika saya
berulang tahun, ini yang menahan saya berhari-hari tidak rela meninggalkan
kamar. Juga beberapa program di stasiun tv tempat saya bekerja membutuhkan
tulisan-tulisan hasil imajinasi ‘mengarang’ saya cukup membuat hari saya makin
tidak pernah bisa keluar ruangan. Bahkan ibu kost saya bilang bahwa saya adalah
satu-satunya anak kost paling setia yang tak pernah kemana-mana, titip kunci,
titip tamu, titip apa-apa segala akhirnya ke saya. Yaa sesekali titip makanan
gitu kek harusnya ya, hehe
Pada dasarnya
saya bukan blogger yang sering memposting kegiatan sehari-hari saya saat ini
sedang ada di mana, dengan siapa dan berbuat apa (karena saya bukan kangen
band). Dengan bahasa santai bercerita kegiatan hari ini kemanalah
ngapainlah, tidak biasa begitu biasanya. Tapi tak apalah, karena saya bingung
juga mau cerita tentang apa. Karena sebenarnya saya bukan pencerita yang baik,
tapi penulis yang suka berkhayal, heee
Ini kesempatan
saya bercerita tentang apa yang saya lakukan selama Ramadan. Selain sibuk
dengan ibadah-ibadah tambahan selama bulan puasa, bagi perantauan seperti saya
menyiapkan oleh-oleh buat mudik adalah salah satu hal penting yang bahkan harus
dipersiapkan jauh-jauh hari. Dan, ini tahun pertama saya mudik (pulang kampung)
dalam keadaan sudah bekerja (tahun-tahun kemarin status saya masih mahasiswa).
Jelas ada perbedaan, yang biasanya ibu saya mengirim uang untuk ongkos pulang kampung,
kali ini giliran saya yang berpikir apa yang akan saya bawa untuk ibu bapak
saya. Sedikit bocoran, bahwa saya adalah tidak termasuk orang yang menyukai
apapun bentuk surprise (-diberi- kejutan) dan juga memberi kejutan. Tidak bisa
merahasiakan apa yang ingin saya hadiahkan untuk di rumah nanti.
Akhirnya saya
telpon ibu dan bertanya “Ini kan tahun
pertama saya kerja, Bu. Kebetulan uang THR dan gaji bulan ini lumayan cukup,
Ibu mau dibeliin apa?” rasanya tidak ada seorangpun ibu ketika ditanya hal
semacam itu oleh anak kesayangannya yang lantas menjawab mau beli ini itu belikan ini itu, itulah apalah, yang beginilah yang
begitulah, seperti kita kalau ditanya ‘mau dibawain apa’ oleh orang tua.
Sama halnya seperti ibu , beliau hanya menjawab “Alhamdulillah kalau punya
banyak uang, ibu sama bapak gak usah dibelikan apa-apa, baju juga udah banyak
(Oke, bagian ini ibu saya agak sombong memang). Tabungin aja uangnya, jangan
lupa dizakatin sebagiannya” glek, nih jawaban yang macam begini nih yang bisa
menusuk berkali-kali lipat ulu hati. Awalnya saya sumringah, bangga, pede mau
beliin oleh-oleh buat orang tua dipatahkan begitu saja tetap nasehat dan kasih
sayangnya. Saya cuma nyengir sambil garuk-garuk kepala, iyaa memang jumlah uang
saya tidak seberapa dibanding uang ibu, tapi karena naluri anak yang baru saja
bisa menghasilkan uang banyak bawaannya pengen pamer aja, sombong. Setelah
melewati diskusi yang cukup alot diputuskanlah saya tidak membawa apa-apa dan
setibanya di rumah saya diwajibkan bayarin makan-makan sekeluarga besar
sepuasnya (mulai firasat gak enak), saya ‘iya’kan saja.
Akhirnya, saya
pilih membelikan bingkisan untuk nenek tercinta saya saja seperangkat alat
sholat (bukan mahar sih). Beliau adalah nenek yang kasih sayangnya ke saya
memang suka agak lebay, selalu cerewet bertanya kabar memastikan saya makan
banyak, memastikan saya tidak pacaran selama kuliah bla bla. Saya sangat
mencintainya. Kalau mau itung-itungan uang, jelas nenek saya lebih banyak
uangnya dibanding ibu saya, apalagi dibandingkan saya. Tapi bentuk kasih sayang
dan terima kasih itu kadang yang membuat kita semakin dekat. Tak apa lah nanti
kalau mau balik ke sini lagi biasanya nenek saya kasih uang saku lebih banyak
lagi dari yang saya kadoin, haha (yeeee)
Masalah bingkisan
nenek sudah saya siapkan meski beliau tidak minta dan tidak tahu kalau cucu
kesayangannya sudah punya uang banyak untuk membelikan mukena dan sajadah yang
mahal. Itu sebenarnya ide ibu, karena saya sama sekali tidak bisa membuat
kejutan termasuk membeli apa yang tak pernah diminta. Nah, yang ribet adalah justru
ke-empat keponakan saya -Mia, Maretha, Abel dan Donivan- kalau saya rinci
begitu saya tanya “hey, kalian mau dibeliin oleh-oleh apa?” jawaban mereka
seketika bikin saya straight face sambil bergumam ‘nyesel dah nanya’.
Laptop pink,
hape, handuk Barbie, tas boneka hello kitty, tas angry bird, kotak pensil,
pencil warna, celana pendek, bando, pensil yang lucu-lucu, jam tangan, semua
alat sekolah pokoknya. Belum yang satu nyeletuk ‘saya mau warna ini’ ‘saya mau
yang bentuknya begini’ ‘saya mau…’ separuh permintannya sudah tak bisa lagi
saya dengar (terlanjur pingsan)
Terlanjur saya
juga yang bertanya dengan pongah “Hey, kalian mau dibeliin apa?” terlanjur
mereka juga berteriak saling berlomba minta dibelikan ini itu. Mau tidak mau
kan, tidak bisa dibantah. Sambil senyum kecut saya catat masing-masing kemauan
mereka dan sebagai tante yang baik saya coba tidak pernah kecewakan keinginan
keponakan saya tercinta. Setidaknya begitu sampe rumah, ada yang dengan senang
hati berebut memijat pergelangan tangan kaki dan leher saya kalau sudah dikasih
hadiah nanti (senyum licik banget).
Terhitung dua
minggu lagi saya pulang kampung dari sekarang. Segenap hati untuk dibawa serta
mudik itu rasanya membuncah tak terbilang. Bayangkan, setelah setahun saya
sendiri di kota orang untuk cari makan (Yelaahhh mulai berdrama) jauh dari
orang tua dan keluarga, akhirnya dipenghujung Ramadan saya kembali akan mendapat
pelukan hangat ibu, bapak, dan nenek saya tercinta serta tawa-tawa lepas dari
keponakan yang cinta mati sama tantenya yang luar biasa. Tidak sabar menunggu
hari itu…
Sampai jumpa di postingan berikutnya
nb: photo-photo menyusul
0 Comments
Silahkan tinggalkan pesan di sini: