|
photo jalan Ciputat-Cileduk, sumber: google |
Seminggu menjelang idul fitri
1433 Hijriah
11.45 waktu Indonesia Bagian
Ciputat, kalian yang bermukim di daerah Tangerang dan sekitarnya sudah pasti
sangat paham bagaimana suasana ‘gersangnya’ kota ini. Saya beberapa kali harus
bolak balik ke kawasan yang subhanallah
banget panasnya ini sesekali berpikir ‘seandainya saya tinggal di sini, apa yaa
bisa dapet inspirasi buat menulis ya (._.”)
Kendaraan yang berlalu lalang
tanpa henti juga bergerak tanpa aturan, suara klakson berpadu raungan knalpot
dengan asap mengepul hitam. Jejeran ibu-ibu separuh baya dengan tentengan mangkuk
di tangan kanan dan anak umur satu tahunan di bahu kiri lelap dalam gendongan,
menengadah ke arah kaca mobil-mobil mewah yang berlalu seolah tanpa melihat
apa-apa. Ini sudah biasa, diperempatan setiap lampu merah Jakarta.
Sekitar lima atau enam motor ojek
berjajar di bawah pohon yang bahkan tidak bisa menghalangi garangnya matahari. Sesekali
mereka bercanda, sambil mengacung-acungkan jari mencari penumpang seberang
jalan yang barangkali butuh bantuan kendaraan “kemana bu, mbak, ojek mbak, ojek
bu, dari pada jalan”, si ibu yang dimaksud tetap berjalan cepat menyeret anak
kecil dengan rambut meriap di dahi tak pedulikan teriakan abang ojek yang masih
gigih menawarkan jasa.
Dua tiga angkot dengan nomor yang
sama berbaris ‘ngetem’ di bahu jalan yang ironisnya bahkan mereka berada di samping
rambu-rambu lalu lintas dengan huruf S disilang, yang artinya don’t STOP
(dilarang berhenti). Sopir angkot dengan cueknya berhenti acuh bahkan tidak
mengindahkan gerutuan penumpang yang mau tidak mau ikut menunggu tidak bergerak
hingga hampir satu jam. Lebih tidak mempedulikan kondisi bulan Ramadan seenaknya
merokok , makan minum di balik kemudi dengan setir berwarna kecoklatan.
Saya, duduk di trotor di depan
mesjid. Mau tidak mau mencari atap pelindung dari sengatan matahari yang entah
berapa derajat panasnya. Keringat mulai membanjiri pakaian dan jilbab saya. Sedikit
berpikir untuk pekerja kasar jalanan yang harus setiap hari berada di
lingkungan semacam ini dan tetap menjalankan ibadah puasa itu amazing banget
menurut saya. Saya yang baru beberapa hari saja di sini rasanya hampir tidak
mampu berlama-lama berdiri di luar ruangan.
Dua minggu terakhir sebelum idul
fitri, pekerjaan saya memang sedang lumayan banyak. Biasanya, tugas saya hanya
menulis naskah di balik meja ruangan ber-AC, bahkan saya terbiasa menulis dalam
nyamannya ruang kerja di kamar sendiri. Sekarang tidak.
Bertambahnya program, bertambah
pula pekerjaan crew yang bertugas. Mencari bahan untuk konsep yang setiap
minggu bertema, mencari bintang tamu, hunting lokasi, menulis naskah syuting
out door, naskah live studio, rundown, hingga laporan kerja harian. Bahkan,
yang menyedihkan saya tidak sempat mudik lebaran #Inicurhat. Berikut hanya sebagian
kecil kesibukan yang barangkali rasanya lucu sekali jika semuanya saya
sebutkan, bukan kah berarti ini sudah termasuk kategori mengeluh.
Tidak sama sekali, saya tidak
sedang mengeluh, hanya kebetulan tulisan ini mengalir untuk membahas apa-apa
saja yang akhir-akhir ini saya kerjakan. Balik ke topic pembahasan, saya yang
duduk di trotoar pinggir jalan dengan masih memandang suasana kebisingan dan
kemacetan Tangerang Selatan. Banyak alasan untuk saya bisa mengeluh, atau
bahkan mengumpat detik itu. Panas yang garang, mencari alamat yang susah
dicari, narasumber yang (saat itu) infonya tidak begitu jelas waktunya, jalanan
dengan ratusan kendaraan yang ber’tin-tin’ sembarangan. Para pejalan kaki yang
berlalu lalang tepat di hadapan saya asyik meminum es buah tanpa peduli
sekitarnya (padahal siapa juga yang minta dipedulikan yaa, hehe). Inti
ceritanya suasana semacam itu membuat ke’bosanan’ dan emosi meningkat, ingin
menggerutu sih tapi sekasar apapun gerutuan saya tidak membuat jalanan ini lancar
bukan? Tidak menjadikan ibu-ibu yang terseok-seok di tengah jalan itu berhenti
mengemis, bahkan tidak membuat matahari mengurangi kadar ke’sangar’annya. Jadi pilihan
saya diam dan nikmati semua pemandangan menjemukannnya.
Tidak ada yang berubah, tidak ada
yang merasa terganggu kehadirannya. Abang ojek masih becanda dan sesekali mengacung-acungkan
jari mencari penumpang. Mobil-mobil mewah masih membunyikan klakson berisik
sambil berlalu acuh tak pedulikan bayi-bayi kecil yang digendong ‘ibu’nya
mengetuk kaca jendela mereka. Sopir angkot yang tak ‘berprikepenumpangan’ masih
tetap anteng tidak bergerak menunggu omprengannya penuh. Tidak ada yang merasa
terganggu dengan keadaan sekelilingnya yang semrawut khas ibu kota.
Sama halnya dengan dua anak kecil
tak jauh di sebelah saya duduk, sekitar berumur 7 dan 8 tahun. Yang lebih besar
mengenakan baju super hero warna hijau gambar Hulk, spiderman, dan iron man. Yang
kecil mengenakan baju dengan sayap kelelawar di punggung bertuliskan batman,
keduanya tanpa alas kaki. “Dua super hero
Ciputat”
“Lo udah dapet berapa?”
“Baru tujuh ribu”
“Lo, tau gak sih pendapatan
ibu-ibu pengemis itu?”
“entah, yang pasti gue gak suka. Bukannya
kerja, emak gue lebih tua lho dari ibu-ibu itu masih kerja, ini malah ‘minta
bu, minta pak’.
“Yaa abis mau kerja apa dong,
uang ga ada”
“Lah, kan bisa jadi apa aja. Mending
jadi pembantu kek, dari pada minta-minta gitu”
“Gue mau jadi supir bis aja ah
nanti kalo udah besar. Katanya hasilnya jutaan tau sekali balik”
“Tapi kan disetor ke bosnya, bego”
“Tapi kalo sekali balik sejuta,
50 balik. Berapa coba?”
“Semilyar mungkin ya. Ah, kalo
gue mending jadi samsat Ciputat gantiin bapak gue”
“Yaa, palingan gajinya juga
berapa”
“Emang lo mau beli apa kalo punya
uang jutaan?”
“beli beras lah, buat emak gue”
“eh, bang Sandi tuh bang Sandi,
yuuk pergi yuuk”
Satu anak yang lebih kecil
menunjuk ujung tikungan, pandangan saya mengikuti arah yang ditunjuk si ‘batman’.
Tampak pemuda tanggung berpakaian yang ‘wow’ memukau dengan rambut mohawk, memakai
ikat kepala, lengan kurus bertato dan rantai panjang di pinggang celana berjalan
bergerombol sambil merokok. Kedua anak umur tujuh dan delapan itu berlarian
meninggalkan tempat duduknya, meninggalkan saya yang sejak tadi ‘menguping’ dan
merekam dengan baik semua percakapan absurd mereka. Entah siapa nama kedua anak
itu, di mana rumahnya, orang tuanya bekerja apa, sekolah atau tidak. Entah,
saya tidak sempat bertanya apa-apa, hanya ‘tidak sengaja’ mendengar apa yang
mereka bicarakan.
Siapapun mereka, kedua anak itu
adalah anak baik. Dengan pemikiran polos sudah belajar menghargai kehidupan
dengan benar. Sudah mengerti mana pekerjaan yang boleh dan tidak ingin mereka
lakukan. Di bawah sinar matahari yang masih belum mengurangi teriknya, saya
meninggalkan trotoar pinggir jalan masuk ke mobil crew menuju lokasi untuk
bulan depan syuting.
Dua superhero Ciputat, jika tak sengaja kita
bertemu lagi kelak, saya akan berbaik hati berbagi cerita. Cerita apa saja yang
kalian suka :)