Pukul empat sore, sudah memasuki
musim penghujan di penghujung bulan September. Di balik kaca restoran mini yang
sengaja dipesan dengan seorang kenalan lama, beberapa anak kecil berbaju
longgar menenteng payung di kiri kanan untuk sekadar mendapat seribu dua ribu
rupiah dari pejalan kaki yang membutuhkan jasa payung tumpangan.
“Kamu terlihat lebih dewasa ay”
“Oya?” ucapku berbinar, seperti
anak kecil yang mendapat pujian ‘kamu cantik’ dari orang tuanya.
Bahu kekarnya mengangkat dan
tersenyum, dengan senyum khas yang memperlihatkan kedua dekik di pipi kiri
kanan yang (dulu) pernah sangat aku suka dan susah dilupakan #eeaa
“Ya, jauh lebih cantik dan tidak
kekanak-kanakan lagi. Tapi sepertinya masih manja yaa?” matanya yang bulat
menatapku lekat
Aku tersenyum, malu.
“Sudah berapa lama gak ketemu,
ay?”, “Hampir lima tahunan yaa?” dia menjawab sendiri pertanyaan yang
dilontarkannya.
“Hampir, kok tumben ke Jakarta
mas? Gak ngabarin sebelumnya juga,
untung saya lagi gak sibuk, hee”
“Beda yaa sekarang, sudah ‘sibuk’.
Dulu waktu kenal sih masih
suka-sukanya maen Barbie kan yaa, masih suka Celine Dion?”
“Haha, ya kali saya juga makhluk
hidup mas. Bisa tumbuh juga, masa kecil terus haha, hmm masih inget aja kalau
saya suka Celine Dion?” ku mainkan jari di bibir gelas berisi coklat hangat
kesukaanku yang masih mengepul asap. (Sengaja masalah Barbie tidak ku jawab,
sebab sampai sekarang juga masih suka, malu sudah terlanjur dipuji dewasa
hihihi)
“Aku sering baca-baca tulisanmu
ay, tulisanmu cantik”
“Oya? Terima kasih. Sekalian kali
kalau muji. Masa tulisannya doang yang disebut cantik, haha”
“Terus, aku harus muji orangnya
cantik juga gitu?”
Aku memperlihatkan senyum yang
paling lucu untuk menarik perhatiannya
“Kamu selalu terlihat cantik,
di mataku, ay. Itu sebab aku selalu gak mau ketemu kamu, kan. Takut jatuh
cinta lagi”
Aku tersedak
“Gimana kabar, Adith, mas?”
alihku
“Sudah punya pacar kali, haha”
“Haha masa sih, sekecil itu?”
“Enggak kecil kali, ay. SD kelas tiga”
“hmm”
“Ohya, gimana kabar laki-laki
yang sering kamu ceritakan?”
Aku tersenyum masam, “Yaa gitu deh”
“Kenapa? Bodoh aja kalo dia gak mau sama kamu”
“Mungkin malah saya yang bodoh.
Selalu suka sama dia, meski gak tahu
dia suka apa enggak sama saya” aku menunduk perlahan
“Gak usah sesedih itu juga kali
ay, haha. Kamu bayangkan berapa laki-laki yang jauh lebih sedih kamu tolak
cintanya”
*straight face*
“Mas, mau langsung pulang?”
“Iya, penerbangan jam 7 nanti”
“Hati-hati, kabar-kabari kalau ke
sini lagi”
“Saya gak akan ketemu kamu lagi
lah”
“Kenapa?” aku kaget polos
“Takut malah jadi suka”
“yeee, hahaha. Salam buat Adhit
dan mbak jangan lupa”
“Baiklah, terus menulis yaa.
Suatu saat kamu pasti akan menjadi penulis hebat dan cantik. Dan, ketika itu
jangan lupa sama teman lama”
“Aamiiinn, ya ya yaaa… doakan
saya mendapat suami yang pantas untuk saya, mas.”
“Pasti, aku pamit ay”
Saya diberi oleh-oleh khas kota
seberang “Tanda mata dari kampung” katanya
*
Obrolan singkat dengan ‘kenalan
lama’. Tidak terlalu banyak yang diceritakan, pertemuannya mendadak dan
waktunya juga gak banyak. Laki-laki
dewasa itu adalah salah satu laki-laki yang pernah saya jatuh cintai, duluuu
sekali. Saat seragam sekolahku masih putih biru
Bagaimanapun juga, aku adalah
seseorang yang tidak begitu saja mudah menghapus kenangan masa lalu. Meski dulu
cintanya hanya sebatas ‘cinta masa kanak-kanak’.
Sebab yang saya bisa hanya
menulis, beberapa cerita nyata sepertinya lebih bisa dikenang lewat tulisan.
Cerita ini tidak terlalu penting mungkin, tapi kelak, beberapa kejadian hari
ini akan mudah aku ingat di beberapa tahun kemudian.
Dan sebab, tentu saat ini tidak
ada seorang pun yang aku jatuh cintai selain kamu #eeeaa #tetepaaay