Gerimis berjatuhan satu-satu. Secangkir coklat hangat, dan alunan music lembut jazz favorite saya menemani malam minggu yang pendiam.
Malam kesekian setelah saya
mengenal kamu.
Malam yang sudah entah kali
keberapa saya memiliki banyak waktu yang sebagian besarnya penuh senyum. Perempuan
jatuh cinta itu kadang tidak lagi bisa diajak bicara, tidak bisa diajak
berdiskusi, tidak bisa diajak berdebat, tidak bisa diceritakan sesuatu tentang
patah hati. Perempuan jatuh cinta itu semua kepalanya penuh kamu, semua
malamnya indah, semuanya bagus. Perempuan jatuh cinta itu saya, kepada kamu.
Beberapa perempuan tidak suka
lelaki puitis, romantis, yang bacaannya buku-buku puisi. Oya, saya berbicara
tentang saya. Saya penyuka lelaki sederhana yang cerdas dengan keahliannya. Tidak terlalu Serius.
Penting. Dan suka berkemaja.
Untuk kembali jatuh cinta saya
perlu waktu setahun dari perasaan hangat yang hilang di masa lalu. Lantas kemudian
belajar lagi untuk menulis pelangi di atas langit. Menanti gerimis yang membuat
saya tiba-tiba merasa jauh lebih romantis. Pada sesuatu yang mengatas namakan
cinta. Pada sesuatu yang menuju kamu.
Dihitung dari berapa banyak saya
jatuh cinta, bahkan tidak sampai merentangkan kesepuluh jari. Sedikit sekali. Entah
terlalu hati-hati, atau saya yang tidak pandai mengajak pikiran untuk
berganti-ganti orang yang harus dijatuhcintai. Satu saja, melelahkan. Belum hilang
perasaan yang satu, timbul lagi perasaan cinta yang lain. Itu cinta? Mungkin iya,
tapi saya tidak demikian.
Kamu adalah lelaki kesekian. Yang
saya jatuh cintai diam-diam. Perkara rumit ini tidak pernah menemukan titik
ujung. Saya pemerhati yang baik, dan selalu memiliki pasokan cinta yang banyak
untuk seseorang yang terkadang tidak pernah paham atau peduli keberadaan saya. Lelucon
konyol yang kerap membuat orang-orang disekitar saya menjuluki saya “Si Bodoh”.
Sebab, tidak terhitung ada banyak
perasaan tulus saya sia-siakan hanya untuk mencintai seseorang lain diam-diam. Yang
entah seseorang itu sadar atau tidak, tahu saya atau tidak, dan saya yang
begitu hanyut tergila-gila sampai benar-benar gila, lupa bahwa beberapa tangan mengulurkan ketulusan lain,
beberapa pasang mata menatap dengan kehangatan lain, beberapa hati menawarkan
harapan yang jauh lebih bisa meyakinkan saya, meyakinkan kebahagiaan saya,
kekal. Tapi saya terlanjur gila, sekaligus buta tuli. Menyedihkan.
Bagaimana, jelaskah saya salah? Jelaskah
saya bodoh?
Tapi adakah cinta yang dijatuhkan
sia-sia? Adakah Tuhan membuat saya salah menjatuhkan cinta? Untuk membela
kewarasan saya, saya katakan tidak. Perasaan saya berasal dari sesuatu yang
tulus, yang Tuhan anugerahkan. Apa kemudian lantas saya paksa untuk buang, saya
tolak mentah-mentah, saya anggap Tuhan salah alamat, lantas kemudian saya menerima
uluran tangan-tangan seseorang lain untuk melampiaskan? Itu lebih tidak adil. Saya
tidak bisa disalahkan. Sama sekali tidak. Perasaan saya juga.
Saya pernah menulis ini :
Bayangkan ketika saya punya banyak perasaan cinta kepada seseorang A, seseorang A yang tidak memedulikan saya, seseorang A yang bahkan tidak pernah tahu keberadaan saya. Kemudian lantas saya men-judge bahwa cinta saya salah alamat. Kemudian saya paksa lupa. Di saat bersamaan seseorang B menanti dengan penuh harapan pada semua sisa-sisa perasaan saya. Dan hanya karena sebab saya putus asa, lalu saya memaksa diri mencintai B setengah banyak, dengan kadar kekecewaan dan rasa bersalah karena seseorang B sudah memiliki perasaan yang tulus. Apakah itu justru tidak membuat saya menjadi perempuan paling jahat? Saya rasa iya, saya sangat jahat.
Saya hanya harus mengikuti
perasaan saya. Saya hanya harus menunggu sedikit lebih lama, untuk sampai pada
waktu saya bisa tulus mencintai seseorang B dan benar-benar melupakan A. Atau semesta
mengabulkan perasaan cinta saya yang banyak ini dibalas sama banyak oleh
seseorang A, ya ya ya bukan sebuah kemustahilan yang akan sangat saya ‘aamiin’kan.
Bayangkan ketika saya punya banyak perasaan cinta kepada seseorang A, seseorang A yang tidak memedulikan saya, seseorang A yang bahkan tidak pernah tahu keberadaan saya. Kemudian lantas saya men-judge bahwa cinta saya salah alamat. Kemudian saya paksa lupa. Di saat bersamaan seseorang B menanti dengan penuh harapan pada semua sisa-sisa perasaan saya. Dan hanya karena sebab saya putus asa, lalu saya memaksa diri mencintai B setengah banyak, dengan kadar kekecewaan dan rasa bersalah karena seseorang B sudah memiliki perasaan yang tulus. Apakah itu justru tidak membuat saya menjadi perempuan paling jahat? Saya rasa iya, saya sangat jahat.
3 Comments
hmmm ...
BalasHapusBaru baca Aya...
BalasHapusindah dan mewakili perasaan sy..
Terima kasiih :)
HapusSilahkan tinggalkan pesan di sini: