Entah cerita ini nyata atau sindiran, yang jelas warganet
terkejut dengan fakta bahwa di dunia tempat manusia hidup dengan akal sehat dan
hati nurani normal ini, masih amat sangat banyak orang yang berpijak mengikuti
hawa nafsu bukan logika berpikir cerdas yang tumbuh dengan segala bentuk
kesederahaannya.
Bisa jadi termasuk saya, kamu, dan kita.
Bisa jadi termasuk saya, kamu, dan kita.
Cerita ini viral di sosial media dalam beberapa hari
belakangan, hingga sekarang.
Berkisah tentang seseorang dengan gaji Rp 80 juta perbulan,
tiba-tiba kena pengurangan karyawan. Baru dua bulan sudah kebingungan dan
stress untuk menghitung jumlah cicilan dan biaya kehidupan harian.
Jika orang-orang dengan gaji UMR membaca ini sedih, sedih
dengan berandai-andai, “Coba kalau saya yang punya gaji segitu, pasti saya
bakal begini dan begitu…”
Pengandai-andaian yang hanya bisa digapai seorang gaji UMR,
sebatas itu. Karena bahkan membayangkan punya uang Rp 8 juta perbulan saja
sudah cukup merasa akan menguasai dunia. Apalagi dengan pendapatan 80 juta.
Susah buat dibayangkan.
Bagi orang tersebut, yang dengan gaji Rp 80 juta perbulan.
Tentu ini sesuatu pencapaian yang berhasil ia lakukan. Ia terbiasa melihat
angka itu. Tercermin dengan kebiasaan hidup yang mereka gunakan.
Apa bedanya gaji 8 juta dengan gaji 80 juta perbulan?
Sama.
Yang membedakan hanya angka, dan cara pandang siapa yang melihat.
Nominal 8 juta itu besar bagi sebagian orang, receh bagi
sebagian orang lain.
Nominal 80 juta itu sangat besar bagi sebagian orang, kecil
menurut sebagian orang yang lain. Angka itu relative.
Kenapa orang bergaji Rp 80 juta bisa bangkrut dan bingung saat kena PHK?
Sama aja, dengan orang bergaji Rp 8 juta atau di bawah UMR
yang kena pengurangan kerja juga. Apa bedanya?
Karena gaya hidup mereka beda. Ketika gaji UMR bingung bayar
kontrakan yang 600 perbulan, gaji Rp 80 juta juga bingung bayar cicilan rumah
yang harganya 3M. Ketika gaji UMR bingung melanjutkan bayar kredit motor, gaji 80 juta juga bingung kehabisan uang untuk melunasi mobil mewahnya.
Pusingnya sama, stressnya sama, perasaan bingungnya pun sama.
Netizen kaum rebahan tentu saja berang, cuitan mereka isinya
kekesalan yang ditujukan pada seseorang yang bahkan mereka ga kenal. Naluri.
“Makanya jangan suka ngutang”, “Intinya hidup jangan
kebanyakan cicilan, nabung” dan sebagainya dan lain-lain.
Begitulah hidup, entah kisah ini nyata atau sindiran, yang
jelas apapun kejadian di dunia ini harusnya sudah sangat bisa jadi cerminan dan
refleksi diri. Ketika menanggapi sebuah kasus terus mencari keburukan orang
lain, tidak akan ada satu kebaikan pun yang kita dapat. Sepatutnya kita berkaca
kepada diri masing-masing.
Bisa jadi, andai kita yang di posisi mereka pun, sama. Gaji
Rp 80 juta perbulan, rasanya gak mungkin nyicil mobil yang sebulannya cuma 5
jutaan. Pasti ingin yang lebih bagus. Tidak ada dalam kamus bayar cicilan rumah
yang kalo cash aja cuma 300 jutaan. Pasti akan ada peningkatan. Terus begitu
berkelipatan.
Benar adanya, hidup itu yang mahal bukan harga ini dan itu,
tapi gengsi dan gaya hidup. Punya nominal banyak uang tidak otomatis menjadi
kaya raya, ketika setiap bulan habis untuk bayar itu dan ini.
Cerita ini hanya untuk bahan renungan, betapa pentingnya
menjadi cerdas dalam mengatur keuangan. Mengesampingkan keinginan bukan
kebutuhan, apalagi demi gengsi.
Susah, namanya juga manusia.
Jelas sangat susah, jika yang diukur hanya dunia. Bersyukur
dengan keadaan saja jarang-jarang. Pentingnya menimba ilmu itu benar harus
sampai mati, karena secerdas apapun sekolah untuk dunia, ketika tidak dibarengi
dengan keimanan dan haus pelajaran kebenaran hidup, tidak akan pernah seimbang.
Saya pernah TERJEBAK hutang kendaraan, yang dulu mikirnya
untuk kebutuhan berniaga, mempermudah transportasi, dan lain-lain dan
sebagainya. Selalu ada pembenaran manusia beralasan untuk melakukan hal yang
buruk.
Kemudian saya disadarkan dengan sebuah ilmu pengetahuan. Diberi
pemahaman cara bersyukur, Allah memberikan saya kemudahan untuk melunasi hutang
secepatnya. Kemudian bisa melanjutkan hidup seperti biasa. Tanpa beban. Tanpa
peduli dengan pendapatan dan pencapaian orang lain.
Agama memberikan semua pelajaran dengan sejelas-jelasnya.
Tinggal manusia yang menyimpulkan akan mematuhi atau mengabaikan.
Agama itu terang. Mengajari cara menghilangkan gengsi dengan
syukur, menghapus keinginan yang belum terlalu penting dengan taat, paham betul
gaya hidup itu harus berbanding lurus dengan pendapatan. Dengan ini, tidak akan
ada lagi rasa kekurangan.
Uang itu yang membedakan hanya nominal angka, kebutuhannya
akan sama jika kita tidak bisa menekan rasa ingin memiliki lebih.
Tidak perlu melihat kisah orang bergaji Rp 80 juta, lihat
saja diri kita. Berapa pendapatan dan berapa jumlah hutang yang kita punya.
Sudah sesuai kah?
Agama tidak melarang berhutang.
Hutang itu diperbolehkan jika memang menyangkut hidup dan
mati, kebutuhan yang mempertaruhkan nyawa. Kalau untuk cuma gaya hidup, apalagi
berhutang tidak dengan cara yang agama syariatkan, rasanya kita tidak diajarkan
untuk itu.
Teruslah belajar, sampai kita tidak lagi bernyawa. Betapa
pentingnya ilmu agama untuk kehidupan. Hanya sebenar-benarnya agama yang bisa
menyelamatkan kita dari hal yang jangankan di akhirat, bahkan di dunia pun
terasa mudah menjalani hidup.
Adanya kisah ini, jangan dijadikan bahan untuk melihat
kebiasaan hidup tetangga, teman, saudara atau orang lain. Jadikan cerminan
untuk diri pribadi. Sudah benarkah keputusan yang kita buat selama ini?
Buat yang masih punya hutang, semoga diberi kemudahan untuk melunasi serta kelapangan hati dan nikmat untuk bersyukur.
Buat yang belum menikah, semoga dijauhkan dari pasangan yang hobi berhutang.